Faktor-faktor yang mendorong dan menghambat mobilitas sosial Menurut
berbagai pengamatan terdapat beberapa faktor yang mendorong terjadinya
mobilitas sosial, antara lain:
- Status sosial
Ketidakpuasan
seseorang atas status yang diwariskan oleh orangtuanya, karena orang pada
dasarnya tidak dapat memilih oleh siapa ia dilahirkan, dapat menjadi dorongan
untuk berupaya keras memperoleh status atau kedudukan yang lebih baik dari
status atau kedudukan orangtuanya.
- Keadaan ekonomi
Keadaan
ekonomi yang tidak menguntungkan, misalnya yang dialami oleh masyarakat di
daerah minus, mendorong mereka untuk berurbanisasi ke kota-kota besar dengan
harapan memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik.
- Situasi politik
Situasi
politik yang tidak menentu, biasanya juga berakibat pada jaminan keamanan yang
juga tidak menentu, dapat mendorong orang untuk meninggalkan tempat itu menuju
ke tempat lain.
- Motif-motif keagamaan
Mobilitas
sosial yang didorong oleh motif keagamaan tampak pada peristiwa orang berhaji.
Orang yang melakukan ibadah haji lazim disebut naik haji. Istilah “naik” jelas
menunjuk adanya peristiwa mobilitas sosial, bahwa status orang tersebut akan
menjadi berbeda antara sebelum dan sesudah menjalankan ibadah haji. Demikian
juga fenomena-fenomena dalam kehidupan agama yang lain, misalnya yang dilakukan
oleh kaum misionaris atau zending.
- Faktor kependudukan/demografi
Bertambahnya
jumlah dan kepadatan penduduk yang berimplikasi pada sempitnya permukiman,
kualitas lingkungan yang buruk, kesempatan kerja yang menyempit,
kemiskinan, dan sebagainya, dapat mendorong orang untuk melakukan migrasi ke
tempat lain.
- Keinginan melihat daerah lain
Hal ini
tampak pada fenomena tourisme, orang mengunjungi daerah atau tempat tertentu
dengan tujuan sekedar melihat sehingga menambah pengalaman atau bersifat
rekreasional.
Di samping faktor-faktor
yang mendorong ada pula faktor-faktor yang menghambat mobilitas sosial,
misalnya:
- Perangkap kemiskinan
- Diskriminasi gender, ras, agama, kelas sosial
- Subkultur kelas sosial, misalnya apa yang oleh Oscar Lewis disebut sebagai the culture of poverty, ataupun rendahnya hasrat meraih prestasi, yang oleh David McClelland disebut sebagai need for achievement (n-Ach).
Prinsip-prinsip
Mobilitas Sosial
1. Hampir tidak terdapat masyarakat
yang sistem pelapisan sosialnya secara mutlak tertutup, sehingga mobilitas
sosial – meskipun terbatas – tetap akan dijumpai pada setiap masyarakat
2. Sekalipun suatu masyarakat menganut
sistem pelapisan sosial yang terbuka, namun mobilitas sosial tidak dapat
dilakukan sebebas-bebasnya
3. Tidak ada mobilitas sosial yang umum
berlaku bagi semua masyarakat; artinya setiap masyarakat memiliki
karakteristiknya sendiri dalam hubungannya dengan mobilitas sosial
4. Laju mobilitas sosial yang
disebabkan faktor-faktor ekonomi, politik maupun pekerjaan tidaklah sama
5. Tidak ada kecenderungan yang kontinyu
mengenai bertambah atau berkurangnya laju mobilitas sosial
Saluran-saluran
Mobilitas Sosial
Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa mobilitas sosial
vertikal mempunyai saluran-saluran yang disebut social circulation sebagai
berikut:
1. Angkatan bersenjata (tentara); terutama dalam masyarakat yang
dikuasai oleh sebuah rezim militer atau dalam keadaan perang
2. Lembaga keagamaan. Contohnya tokoh organisasi massa
keagamaan yang karena Lembaga pendidikan; sekolah sering merupakan
saluran yang paling konkrit untuk mobilitas sosial, sehingga disebut sosial
elevator yang utama. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang berhasil diraih
seseorang semakin terbuka peluangnya untuk menempati posisi atau kedudukan
tinggi dalam struktur sosial masyarakatnya.
3. Organisasi politik, ekonomi dan
keahlian (profesi); seorang
tokoh organisasi politik yang pandai beragitasi, berorganisasi, memiliki
kepribadian yang menarik, penyalur aspirasi yang baik, akan lebih terbuka
peluangnya memperoleh posisi yang tinggi dalam masyarakat.
4. Perkawinan; melalui perkawinan seorang rakyat
jelata dapat masuk menjadi anggota kelas bangsawan. Status sosial seseorang
yang bersuami/beristerikan orang ternama atau menempati posisi tinggi dalam
struktur sosial ikut pula memperoleh penghargaan-penghargaan yang tinggi dari
masyarakat.
5. reputasinya kemudian menjadi tokoh
atau pemimpin di tingkat nasional